Dengan adanya penderitaan setiap manusia bisa mengambil sari-sari pelajaran dalam hidupnya untuk tidak masuk lagi kedalam hal yang sama yang membuatnya menderita. Setiap orang tak pernah menyadari kalau penderitaan itu bisa membuat kita jadi lebih baik. mereka semua menyimpulkan bahwa penderitaan adalah hal yang sudah berkahir untuk berusaha. Karena penderitaanlah kita bisa belajar untuk lebih baik dan berpengalaman.
Hubungan antarmanusia juga bisa menimbulkan penderitaan, karena dalam hubungan itu sering terjadi pergesekan dan perbenturan. Secara ekstrim, filsuf dan sastrawan Jean Paul Sartre menyimpulkan dalam sebuah dramanya, bahwa “neraka adalah orang lain!”
Manusia lazimnya memiliki dua fungsi dalam konteks hubungannya dengan manusia lain, yakni sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Karenanya, hubungan antarmanusia juga bisa disederhanakan menjadi dua jenis: hubungan seorang manusia dengan seorang manusia lain (hubungan antarindividu), dan hubungan seorang manusia dengan masyarakatnya.
Hubungan individu dengan masyarakatnya
Masyarakat seperti alam bagi seorang manusia, yakni sesuatu yang berada di luar diri dan mengatasi seseorang. “Alam” ini tersusun dari manusia-manusia dan hubungan antarmanusia di dalamnya. Menurut para ahli sosiologi atau ilmu sosial lainnya, masyarakat memiliki struktur sosial. Sebagai struktur, ia memiliki sistem atau sistem-sistem.
Dengan demikian, hubungan individu dengan masyarakatnya bisa sesederhana hubungan antara seorang pribadi yang unik dengan sejumlah besar manusia lain; bisa juga berbentuk hubungan antara seseorang yang berhadapan dengan sebuah struktur atau sistem sosial tempat ia hidup.
Hubungan seorang pribadi dengan sejumlah besar orang lain beragam, bergantung besaran kelompok orang lain tersebut. Bisa jadi kelompok orang lain itu adalah peer group-nya (kelompok bermainnya). Bisa jadi kelompok tersebut adalah keluarga besarnya, kelompok kerabatnya, atau kelompok di lingkungan tempat tinggalnya. Kelompok terbesar adalah masyarakat dunia. Namun kelompok ini biasanya tak lagi disebut sebagai kelompok, tapi sebagai masyarakat yang memiliki kompleksitas tinggi.
Hubungan seseorang dengan sejumlah lebih banyak orang bisa berupa perbedaan pendapat. Biasanya, perbedaan pendapat seseorang melawan banyak orang akan berakibat lebih berat bagi seseorang daripada perbedaan pendapat antarindividu. Orang yang berbeda pendapat dari masyarakat bisa dianggap “aneh”, bahkan “tidak normal”. Ia dianggap berdiri di luar konformitas masyarakatnya, dan pada beberapa kasus sering harus memikul sangsi sosial yang tak kecil.
Misalnya, kisah Maryam Jamilah semasa remaja. Ia, tak seperti kebanyakan remaja Amerika semasanya, tak suka bergaul dalam keramaian atau terlibat dalam kegiatan olahraga, tapi lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan. Oleh sekolah, hal ini dianggap tidak normal dan menyimpang. Ia dikirim ke rumah sakit jiwa untuk “disembuhkan”. Menurut RSJ, Maryam didiagnosis mengidap penyakit “tak memiliki kemampuan menyesuaikan diri, tak mampu bersosialisasi”.
Namun sering juga kita melihat orang-orang, yang kadang bergabung dalam kelompok-kelompok kecil, yang sengaja membedakan diri dari masyarakat umum. Misalnya dari cara berpakaian, berbahasa, dan sebagainya. Mereka menolak “kemapanan masyarakat”, merengkuh citra outcast(orang kucilan) atau rebel (pemberontak, orang urakan) sebagai identitas mereka. Orang-orang atau kelompok-kelompok semacam ini (misalnya, mereka yang menyebut diri “kaum punk”) berbeda pendapat dengan masyarakat secara ideologis, dan seringkali punya pretensi sedang melakukan perlawanan terhadap sistem masyarakat yang ada.
Di sini kita menemukan salah satu bentuk dari jenis lain hubungan individu dan masyarakat. Setiap individu harus berhadapan dengan masyarakat yang mewujud dalam bentuk sistem-sistem. Seorang mahasiswa, misalnya, harus berhadapan dengan sistem pendidikan yang ada (tentu saja perhadapan ini tak selalu dalam bentuk negatif). Seorang penganut sosialisme atau komunisme harus berhadapan dengan sistem kapitalisme dominan. Seorang imigran Muslim di Prancis atau di Amerika harus selalu menghadapi sebuah struktur diskriminatif terhadap agamanya. Seorang Minke harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik-sosial-ekonomi kolonial yang membuatnya berulangkali terjatuh dalam penderitaan.
Penderitaan jenis ini memang lain dari sekadar penderitaan pengucilan karena berbeda pendapat dengan sebuah kelompok atau sebuah masyarakat. Kita bisa memilah lagi jenis penderitaan ini:
- Penderitaan akibat sistem politik.
Misalnya, seseorang menjadi tahanan politik, bahkan disiksa dalam penjara, karena memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi negara.
- Penderitaan akibat sistem ekonomi.
Misalnya, penderitaan akibat kenaikan BBM dan inflasi yang mencekik leher masyarakat miskin Indonesia.
- Penderitaan akibat sistem sosial.
Contoh klasik adalah penderitaan seseorang dalam sebuah sistem kasta yang ketat, di mana kasta terendah dianggap tak punya atau sedikit sekali memiliki hak asasi.
- Penderitaan akibat sistem budaya.
Termasuk dalam jenis ini adalah penderitaan akibat seseorang menganut sistem kepercayaan yang berbeda dari yang dianut masyarakat atau negara.
Hubungan antar individu
Dalam hubungan antarindividu, seseorang mengalami penderitaan yang seringkali bersifat intim. Misalnya, sebuah ucapan atau sekadar tarikan wajah seseorang yang masam dapat melukai hati seorang yang lain. Cara berpakaian, cara duduk, sikap tubuh, semua itu bisa menerbitkan tafsiran negatif yang berpotensi melahirkan penderitaan jiwa pada diri seseorang.
Hubungan fisik pun bisa menimbulkan penderitaan. Seorang suami memukul istri (atau, karena emansipasi, sebaliknya). Seorang ayah menghajar anak yang berani membantah, atau sebaliknya, seorang anak menghajar bapaknya karena tidak dikasih uang untuk membeli shabu-shabu. Tetangga menyenggol tetangga, dibalas dengan bacokan. Seseorang mengendarai metromini secara ugal-ugalan menabrak seorang pengendara motor yang tak ia kenal, yang sedang anteng menanti lampu hijau di perempatan jalan. Benturan atau konflik bersifat fisik ini menimbulkan penderitaan fisik.
Konflik antarindividu bisa terjadi karena kesalahpahaman, perbedaan paham, perbedaan sifat, perbedaan kepentingan, atau karena diharuskan oleh situasi.
Konflik karena kesalahpahaman misalnya ketika seseorang meludah pada saat seorang lain lewat di hadapannya, lalu orang lewat itu menafsirkan bahwa ia sedang dihina oleh orang yang meludah. Bisa jadi kesalahpahaman ini tak berlanjut menjadi konflik terbuka (cekcok mulut) atau konflik fisik (perkelahian), tapi si orang lewat yang merasa terhina mungkin akan menderita sakit hati bahkan krisis kepercayaan diri (merasa dirinya tak berharga, hina). Jika konflik itu berlanjut, apalagi jika sampai konflik fisik, maka penderitaan akan dialami oleh pihak korban dalam konflik tersebut.
Konflik karena perbedaan sifat biasa terjadi dalam kehidupan domestik seperti kehidupan rumah tangga atau kehidupan dalam sebuah tempat khusus seperti rumah kos, kelas, atau tempat kerja. Seorang suami yang bertemperamen keras bisa selalu bergesekan dengan seorang istri yang bertemperamen halus. Sebetulnya, persamaan sifat juga bisa menimbulkan konflik. Suami bertemperamen keras jelas punya kemungkinan berseteru dengan istri yang bertemperamen sama.
Perbedaan kepentingan adalah juga sumber konflik yang sangat potensial. Seorang karyawan yang melihat peluang bagi dirinya untuk mendapatkan promosi dengan menyikut atau menjatuhkan rekan kerjanya bisa dibilang sedang menanam potensi konflik. Dua orang lelaki yang menginginkan cinta dari seorang perempuan yang sama juga bisa berpotensi untuk berkonflik.
Ada juga penderitaan yang timbul karena keharusan situasi. Misalnya, seorang lelaki mencintai seorang perempuan. Per definisi, mencintai adalah menderita –karena mencintai berarti menghadapi dengan risiko kehilangan. Tak setiap orang mampu menghadapi risiko kehilangan ini dengan baik. Karenanya, tak setiap orang bisa bahagia begitu saja dalam mencinta. Apalagi jika risiko kehilangan itu menjadi nyata: cintanya ditolak, atau orang yang ia cintai meninggal.
Namun penderitaan seseorang karena mencintai orang lain juga erat hubungannya dengan konflik batin yang dialami sang pencinta itu sendiri. Berat ringannya risiko kehilangan itu bergantung pada kemampuan jiwa setiap orang yang berbeda-beda dalam menangani konflik dalam jiwa masing-masing.